Makalah Kapitan Pattimura

#SHARE

Siapa yang tidak tahu dengan Kapitan Pattimura? Kapitan Pattimura adalah pahlawan nasional dari Maluku. Fotonya pernah terpampang dalam uang pecahan Rp1.000 edisi lama dengan memegang senjata golok yang fenomenal membuatnya menjadi populer. Berikut pembahasan mengenai sang Kapitan dalam bentuk makalah.



BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar belakang
Sampai dengan abad 18 penetrasi kekuasaan Belanda semakin besar dan meluas, bukan hanya dalam bidang ekonomi dan politik saja namun juga meluas ke bidang-bidang lainnya seperti kebudayaan dan agama. Penetrasi dan dominasi yang semakin besar dan meluas terhadap kehidupan bangsa Indonesia menyebabkan terjadinya berbagai peristiwa perlawanan dan perang melawan penindasan dan penjajahan bangsa Eropa. Tindakan sewenang-wenang dan penindasan yang dilakukan oleh penguasa kolonial Eropa telah menimbulkan kesengsaraan dan kepedihan bangsa Indonesia. Menghadapi tindakan penindasan itu, rakyat Indonesia memberikan perlawanan yang sangat gigih. Perlawanan mula-mula ditujukan kepada kekuasaan Portugis dan VOC.
Perlawanan yang dilakukan bangsa Indonesia tersebut di bagi ke dalam dua periode, yaitu perlawanan sebelum tahun 1800 dan perlawanan sesudah tahun 1800. Pembagian waktu tersebut dilakukan untuk memudahkan pemahaman mengenai sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Bangsa-Bangsa Barat tersebut. Perlawanan sebelum tahun 1800, yaitu : Perlawanan Rakyat Mataram, Perlawanan Rakyat Banten, Perlawanan Rakyat Makasar, Pemberontakan Untung Surapati. Sedangkan perlawanan sesudah tahun 1800, yaitu : Perlawanan Sultan Nuku(Tidore), Perlawanan Patimura, Perang Diponegoro,Perang Paderi, Perang Aceh, Perang Bali, Perang Banjarmasin.
Proses penjajahan di Indonesia adalah proses perjuangan yang tidak akan cukup tergambarkan dalam satu atau dua buku. Berbagai pristiwa yang pernah dialami maupun berbagai peninggalan yang masih tersisa merupakan saksi yang masih banyak menyimpan rahasiah yang mungkin belum mampu terungkap. 

1.2  Tujuan
1.      Untuk mengetahui perlawanan rakyat – rakyat Indonesia pada masa kolonialisme Belanda.
2.      Untuk mengetahui biografi Kapitan Pattimura.
3.      Untuk mengetaui latar belakang perlawanan Kapitan Pattimura dan pasukannya.
4.      Untuk mengetaui akhir perlawanan Kapitan Pattimura dan pasukannya.

1.3  Manfaat
1.      Untuk mengetahui perlawanan rakyat – rakyat Indonesia pada masa kolonialisme Belanda.
2.      Untuk mengetahui biografi Kapitan Pattimura.
3.      Untuk mengetaui latar belakang perlawanan Kapitan Pattimura dan pasukannya.
4.      Untuk mengetaui akhir perlawanan Kapitan Pattimura dan pasukannya.

BAB II
ISI

2.1 Asal - Usul
Pattimura (atau Thomas Matulessy) (lahir di Haria, pulau Saparua, Maluku, 8 Juni 1783 - meninggal di Ambon, Maluku, 16 Desember 1817 pada umur 34 tahun), juga dikenal dengan nama Kapitan Pattimura adalah pahlawan Maluku dan merupakan Pahlawan nasional Indonesia.
Menurut buku biografi Pattimura versi pemerintah yang pertama kali terbit, M Sapija menulis: "Pattimura tergolong turunan bangsawan dan berasal dari Nusa Ina (Seram). Ayahnya yang bernama Antoni Mattulessy adalah anak dari Kasimiliali Pattimura Mattulessy. Yang terakhir ini adalah putra raja Sahulau. Sahulau merupakan nama orang di negeri yang terletak dalam sebuah teluk di Seram Selatan.”
Namun sejarawan Mansyur Suryanegara berbeda pendapat. Dia mengatakan dalam bukunya "Api Sejarah" bahwa Ahmad Lussy atau dalam bahasa Maluku disebut Mat Lussy, lahir di Hualoy, Seram Selatan (bukan Saparua seperti yang dikenal dalam sejarah versi pemerintah). Dia adalah bangsawan dari kerajaan Islam Sahulau, yang saat itu diperintah Sultan Abdurrahman. Raja itu dikenal pula dengan sebutan Sultan Kasimillah (Kazim Allah/Asisten Allah). Dalam bahasa Maluku disebut Kasimiliali.
Pada 20 Mei 1960 ditandatangani sebuah daftar silsilah dari Itawaka tentang Thomas Matulessy oleh Kapten Infantri F.L. Siahainenia dan Wattimena dengan judul Turun Temurun Kapitan Matulessy. Silsilah kemudian baru ditandatangani wakil pemerintah negeri Itawaka, A. Syaranamual, pada 26 Mei 1967. Kemudian disahkan di Jakarta dan ditandatangani Frans Hitipeuw atas nama Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Ditjenbud, Depdikbud.
Pada 28 Mei 1967, F.D. Manuhutu atas nama Ketua Saniri Negeri Haria, menandatangani sebuah daftar silsilah Thomas Matulessy berjudul Silsilah Pattimura,namun berbeda di nama ayah Thomas Matulessy. Versi Itawaka menyebut nama ayah Thomas dengan Frans Matulessy, sedangkan versi Haria menyebut nama ayah Thomas dengan Frans Pattimura.

Daftar silsilah Thomas versi Haria ini juga ditandatangani Frans Hitipeuw atas nama Pemerintah pada 5 Oktober 1987. Jadi pada hari yang sama, Frans Hitipeuw atas nama Pemerintah mengesahkan dua daftar silsilah Thomas Matulessy.
Setelah itu pada September 1976, I.O. Nanulaita menyusun lagi sebuah daftar silsilah Thomas Matulessy yang diberi judul Silsilah Pattimura versi Ulath. Kesamaan dari ketiga versi silsilah itu adalah Thomas Matulessy tidak kawin.
Secara akademik juga sudah pernah ditempuh. Pada 5-7 Nopember 1993, para ahli sejarah, analis, dan pemerhati sejarah bersama pemerintah berkumpul dalam sebuah forum ilmiah seminar tentang sejarah perjuangan Pahlawam Nasional Pattimura di Kodam XV Pattimura, yang diselenggarakan Kanwil Depdikbud Provinsi Maluku di Ambon. Tetapi “Hingga berakhirnya Seminar, belum bisa dipastikan siapa tokoh Kapitan Pattimura yang sesungguhnya”.
Menariknya seminar sejarah perjuangan Pattimura itu justru merekomendasikan dalam satu itemnya: Demi kepastian penulisan historiografi perjuangan Pattimura, maka peran marga Pattimura di Negeri Latu dan Silsilah Thomas Matulessy di Saparua dan Haruku, perlu diteliti secara lebih serius.

2.2 Latar Belakang Perlawanan
Latar belakang terjadinya perlawanan rakyat Maluku di bawah pimpinan Thomas Matulessi yang lebih dikenal dengan nama Kapiten Pattimura, adalah sebagai berikut :
1.       Kembalinya pemerintahan kolonial Belanda di Maluku  dari tangan Inggris. Perubahan penguasa dengan sendirinya membawa perubahan kebijaksanaan dan peraturan. Apabila perubahan itu menimbulkan banyak kerugian atau penghargaan yang kurang, sudah tentu akan menimbulkan rasa tidak puas dan kegelisahan.
2.      Pemerintah kolonial Belanda memberlakukan kembali penyerahan wajib dan kerja wajib. Pada zaman pemerintahan Inggris penyerahan wajib dan kerja wajib (verplichte leverantien, herendiensten) dihapus, tetapi pemerintah Belanda mengharuskannya lagi. Tambahan pula tarif berbagai barang yang disetor diturunkan, sedang pembayarannya ditunda-tunda.
3.      Pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan uang kertas sebagai pengganti uang logam yang sudah berlaku di Maluku, sehingga menambah kegelisahan rakyat.
4.      Belanda juga mulai menggerakkan tenaga dari kepulauan Maluku untuk menjadi Serdadu (Tentara) Belanda.

            Berdasarkan Convention of London (1814), daerah Maluku diserahkan kembali oleh Inggris kepada Belanda. Kedatangan Belanda kembali ke Maluku disambut dengan banyak perlawanan rakyat. Rakyat Maluku banyak yang merasa trauma dengan penindasan dan penghisapan pada masa VOC antara lain seperti pelayaran Hongi, ektirpasa dan lain-lain, rakyat Maluku takut hal-hal di atas kembali terulang.
            Pada tanggal 8 Maret 1817, masuklah 4 kapal perang Belanda ke Teluk Ambon. Empat kapal itu salah satunya mengangkut 2 orang penting Belanda. Mereka adalah Komisaris Van Middlekoop dan Engelhard. Sambutan penduduk Maluku sangat suram dan tidak meriah karena seperti disebutkan di atas, rakyat masih trauma dengan orang-orang Belanda.
Ketika Maluku dikuasai Inggris, seolah-olah rakyat Maluku ada pada masa yang menyenangkan. Inggris melarang semua pelanggaran atas hak mereka, kerja paksa dihapus, Inggris juga membeli hasil bumi Maluku dengan harga yang pantas. Ketika Belanda kembali, rakyat Maluku seperti kecewa dan tidak senang karena mereka punya dendam dengan orang-orang Belanda. Perasaan trauma itu sepertinya akan terulang pada saat Residen gubernur Maluku menginstruksikan diberlakukan kembali kerja paksa (rodi) yang telah dihapuskan oleh pemerintah Inggris sebelumnya dan kewajiban kepada nelayan Maluku untuk menyediakan perahu (orambai) untuk keperluan administrasi dan militer Belanda. Selain itu yang paling berat adalah kerja paksa untuk keperluan penebangan kayu.
            Sikap Belanda yang sewenang-wenang ini menimbulkan jiwa kritis rakyat Maluku timbul, rakyat Maluku mulai membandingkan pemerintahan Inggris dengan Belanda. Orang-orang Kristen yang dulunya kebanyakan bekerja untuk pemerintahan Inggris kini bergabung dengan golongan Muslim Maluku untuk merencanakan perlawanan terhadap Belanda.

            2.3 Jalannya Perlawanan
            Perlawanan dimulai ketika rakyat melakukan protes di Kantor Residen Saparua di dalam Benteng Duurstedee. Mereka menuntut agar pemerintah bersedia membayar perahu Orambai yang dipesan oleh pemerintah Belanda dengan harga yang pantas karena selama ini perahu orambai yang diserahkan kepada pemerintah Belanda tidak pernah dibayar. Residen Saparua Van den Berg menolak tuntutan rakyat itu. Kejadian itu menyebabkan kebencian rakyat Maluku semakin menjadi-jadi.
Akhirnya perlawanan dengan kekerasan senjata terhadap Belanda pun direncanakan. Dalam pertemuan antara para pemimpin rakyat Saparua (berjumlah 100 orang) dibicarakan mengenai rencana perlawanan dan juga dibicarakan mengenai siapa yang akan memimpin, selain itu di dalam rapat tersebut muncul desas-desus bahwa Belanda akan mengenakan wajib militer pada rakyat Maluku untuk ditugaskan ke Jawa, yang mana desas-desus ini menimbulkan perasaan was-was dan semakin menambah kebencian pada Belanda. Dalam rapat itu seorang pria bernama Matulessy tampak mendominasi pertemuan. Mattulessy memiliki nama lengkap ketika lahir adalah Achmat Lussy dan biasa dipanggil Mat Lussy, ketika Maluku dikuasai Inggris Mat Lussy bekerja sebagai anggota tentara kolonial Inggris dan memperoleh pangkat kapten (kapitan). Waktu itu Inggris membentuk Barisan Maluku di mana ada 400 orang Maluku yang bekerja untuk tentara Inggris. Karena begitu akrab dengan orang Inggris dan sangat menyukai kebudayaannya Mat Lussy bahkan berpindah agama menjadi Kristen Protestan Anglikan dan merubah namanya menjadi Thomas Matulessy. Pengalaman di kemiliteran Inggris membuat Mattulessy cukup disegani karena keahliannya menyusun strategi perlawanan terhadap Belanda, maka para pemimpin adat sepakat untuk mengangkat Mattulessy sebagai pemimpin dengan gelar Pattimura.
            Pattimura menetapkan sasaran adalah Benteng Duurstede. Benteng di tepi pantai itu akan diserang oleh pasukan yang didaratkan dari pantai. Untuk mengangkut pasukan Pattimura merencanakan akan memakai orambai yang sedianya akan dipesan oleh Belanda.
            Benteng Duurstede adalah tempat tinggal residen Saparua Johannes Rudolph Van den Berg yang baru berusia 29 tahun yang sejak 15 Maret 1817 menetap di sana. Ia tinggal bersama istri dan 4 anaknya. Selain keluarga residen, benteng ini juga dijaga oleh ratusan tentara dan pegawai administrasi.
Pada tanggal 15 Mei 1817 terjadi kerusuhan di Porto di mana sebuah perahu pos Belanda dirampas oleh rakyat yang marah, rakyat mengancam jika Pemerintah Belanda tidak bersedia membayar orambai maka perahu pos itu tidak akan dikembalikan berikut isinya.
Residen Van den Berg dengan ditemani 7 pasukan pengawal berangkat ke Porto untuk melakukan dialog dengan rakyat. Tetapi residen dan pengawalnya tidak tahu bahwa rakyat itu adalah pengikut Pattimura. Ketika sampai di daerah Haria, residen dan pengawalnya disergap dan semuanya berhasil ditangkap, beberapa pengawalnya bahkan ada yang terbunuh. Kuda residen dibunuh. Mengetahui residen ditawan oleh rakyat Saparua, maka dari Benteng Duurstede dikirimkan sekelompok pasukan senapan berjumlah 20 orang dan 12 orang Jawa bersenjatakan tombak. Di tengah jalan 32 orang serdadu itu dihujani dengan panah.
Pattimura kemudian membebaskan Van den Berg setelah residen ini mengancam bahwa jika seorang residen ditahan maka pemerintah Belanda di Batavia tidak akan tinggal diam dan pasti akan menghukum seluruh rakyat Maluku. Akhirnya residen dibebaskan dengan jaminan bahwa residen telah menganggap insiden penyanderaan itu selesai dan tidak akan memperpanjangnya selain itu residen berjanji akan melunasi orambai yang dibeli Belanda.
            Sementara itu, setelah membebaskan residen dan pengawalnya Pattimura dan pasukannya segera menuju Benteng Duurstede dengan menaiki orambai-orambai yang berjumlah puluhan.
Pagi hari sebelum matahari terbit orambai-orambai itu sudah sampai di pantai dan ribuan orang segera turun ke darat dan langsung melakukan serangan sporadis ke Benteng Duurstede. Pihak Belanda sangat kaget dengan serangan ini dan berusaha bertahan mati-matian. Tetapi tanpa dinyana dari hutan di belakang benteng juga terjadi serangan dari rakyat. Akhirnya Benteng Duurstede berhasil direbut tanggal 16 Mei 1817, seluruh isi benteng dibunuh termasuk residen dan keluarganya termasuk 4 anaknya yang masih kecil juga jadi korban sabetan kelewang yang tak bermata. Rakyat Maluku yang bekerja untuk Belanda juga menjadi korban. Namun, kemudian diketahui bahwa anak tertua Van den Berg tidak mati karena dia bersembunyi di bawah tumpukan mayat. Dengan jatuhnya Benteng Duurstede maka senjata-senjata yang ada di dalamnya juga ikut dirampas dan semakin menguatkan kedudukan Pattimura. Setelah menduduki benteng, Pattimura menurunkan bendera merah putih biru Belanda dan mengibarkan bendera Union Jack Inggris.
            Sore harinya anak tertua Van den Berg ditemukan oleh salah seorang pemberontak bernama Samuel Pattiwael. Semua pasukan pemberontak ingin membunuhnya tetapi Pattimura mencegahnya dan bahkan mengangkat anak itu sebagai anak tirinya. Anak Van den Berg itu bernama Jean Lubbert.
            Berita jatuhnya Benteng Duurstede dan terbunuhnya Residen Van den Berg sampai ke Batavia. Pemerintah Hindia-Belanda segera memerintahkan Mayor Beetjes untuk memimpin 242 pasukan dan 2 meriam untuk merebut kembali benteng itu. Pasukan itu akan dikirim dengan perahu tanpa perlindungan kapal perang. Hal ini dilakukan karena Pemerintah Belanda di Ambon memandang kedudukan Belanda di Ambon masih labil sehingga kapal-kapal perang harus tetap berada di Ambon. Tanpa perlindungan kapal perang Beetjes berhasil mendarat di Pantai Wae Sisil. Usaha Beetjes menemui kegagalan, setelah mendarat pasukannya disergap oleh ribuan rakyat Saparua dihancurkan di pantai Wae Sisil depan Benteng Duurstede dan bahkan ia sendiri terbunuh.
            Kemudian dikirim pasukan lagi yang lebih besar (950 orang) yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Groot. Tetapi setelah pertempuran yang besar dan habis-habisan pasukan ini pun bisa dihancurkan. Lagi-lagi pasukan Belanda ini tidak dilindungi oleh kapal perang.
            Keberhasilan Pattimura ini menghilhami para pemimpin Maluku di lain daerah dan merekapun mengobarkan perlawanan terhadap Belanda. Di Hitu perlawanan dipimpin oleh raja Ulupaha yang berusia 80 tahun. Selain itu seorang raja bernama Paulus Tiahahu juga membantu perlwanan Pattimura dengan dukungan ekonomi dan bahkan penyediaan logistik dan pasukan. Bahkan salah seorang putri raja bernama Christina Martha Tiahahu memimpin perlawanan Maluku dari laut dan darat dengan cara membajak kapal Belanda di perairan Maluku.
            Politik Devide et Impera dijalankan, Belanda mulai mendekati beberapa tokoh Maluku yang berpengaruh seperti raja, kepala suku, pendeta Kristen dan tokoh berpengaruh lainnya untuk ikut membantu mengalahkan Pattimura dan pengikutnya yang masih bercokol di Benteng Duurstede.
            Akhirnya pasukan besar berjumlah 2000 orang dibawah pimpinan Brigadir Jenderal Buijskes didaratkan di Saparua pada tanggal 30 September 1817 dan mengepung Benteng DuurstedeKali ini serangan Belanda didukung oleh sebuah kapal perang penjelajah Maria Van Reigersbergen. Pattimura saat itu tidak sedang berada di benteng sehingga tidak berhasil ditangkap. Akhirnya benteng itu pun jatuh pada tanggal 3 Oktober 1817 dan beberapa tokoh pemimpin perlawanan ditangkap.
            Brigadir Jenderal Buijskes kemudian memecat Residen Van Middelkoop dan Komisaris Engelhard. Buijskes mengangkat dirinya sebagai residen militer dan bertanggung jawab atas Maluku. Buijskes kemudian mengirim surat kepada Raja Ternate dan Tidore. Dia meminta kepada kedua raja itu untuk mengirim pasukan membantu Belanda. Dalam suratnya itu Buijskes membawa-bawa sentimen agama untuk memecah belah. Kedua raja itu pun terpengaruh. Pada awal November 1817, sebanyak 1500 pasukan Ternate dan Tidore dari Suku Alfuru berikut perahu kora-kora nya bergabung dengan Belanda.
Bergabungnya 1500 pasukan Ternate-Tidore dari suku Alfuru ini membikin moral pasukan Pattimura sedikit kendor. Mereka merasa ngeri dengan kebengisan orang-orang Alfuru yang suka memenggal kepala jika membunuh musuhnya.
Pattimura membangun pertahanannya yang terdiri dari batu-batu karang. Bahkan peluru meriam Belanda tak mampu menghancurkannya. Pattimura membangun benteng karang ini di tempat-tempat strategis. Pertahanan ala Pattimura ini menimbulkan rasa salut Belanda pada Pattimura.
Pada tanggal 9 November Kapal-kapal perang Belanda menghujani sebuah benteng karang milik pasukan Maluku. Setelah dibombardir dengan berat akhirnya kapal-kapal itu mendaratkan 3 kompi pasukan dan mengambil posisi mengepung serta menutup tiap-tiap celah, sementara kapal-kapal perang tetap menembaki, karena terus dikepung dan ditembaki akhirnya orang-orang Maluku tidak tahan lagi dan menyerah. Akhirnya dengan taktik ini Belanda mampu merebut benteng-benteng yang lain.

            2.4 Akhir Perlawanan
            Kini Belanda di atas angin, dan Pattimura makin terdesak dan terpaksa harus melawan secara gerilya. Usaha pembersihan kemudian dilakukan Belanda untuk meredam terulangnya kembali pemberontakan dan yang paling utama adalah menangkap Pattimura.
            Usaha Belanda menangkap Pattimura terus menerus mengalami kegagalan dan akhirnya Pattimura ditangkap di sebuah rumah di daerah SiriSori.Pattimura dapat ditangkap karena pengkhianatan salah satu anak buahnya. Karena Pattimura bukanlah raja maka dia diperlakukan seperti tawanan perang rendahan. Tertangkapnya Pattimura ini tidak membuat surut perlawanan Maluku. Raja Manusama Paulus Tiahahu dari Abobu, Nusa Laut terus melakukan pemberontakan dengan cara membajak kapal-kapal Belanda.
            Untuk menumpas pemberontakan Belanda bertindak sangat kejam dalam menghukum daerah yang dicurigai sebagai sarang pemberontak. Rumah-rumah dibakar. Orang-orang Ternate dan Tidore yang membantu Belanda diijinkan untuk merampok dan merampas desa-desa di Saparua.
            Raja Abobu Manusama Paulus Tiahahu akhirnya berhasil ditangkap beserta putrinya Christina Martha Tiahahu yang masih kecil (kurang lebih 17 tahun). Komodor VarHuell diperintahkan memimpin kapal perang Evertzen ke Nusa Laut. Sesampainya di Nusa Laut Evertzen mendapat penumpang istimewa yaitu Paulus Tiahahu dan anaknya Christina Martha Di pantai telah berkumpul rakyat Nusa Laut. Kemudian raja digiring ke geladak kapal dan ditembak di depan anaknya dan disaksikan oleh rakyatnya dari pantai. Akhirnya karena masih kecil, Christina Martha dibebaskan. Tetapi Christina malah meneruskan perlawanan bapaknya. Sampai akhirnya ia kembali tertangkap bersama 39 orang sisa pengikutnya. Akhirnya 40 orang tahanan itu dibawa ke Batavia dengan kapal Evertzen-kapal tempat ayah Christina dihukum mati-. Di tengah perjalanan Christina tidak mau makan, sampai akhirnya ia mati kelaparan. Pada tanggal 1 Januari 1818 jenasah Christina dibuang ke laut.
            Pada tanggal 16 Desember 1817, para pemimpin perlawanan Maluku dihukum gantung di Benteng Nieuw Victoria di tepi pantai Ambon. Mereka adalah Pattimura, Anthoni Ribok, Philip Latumahina, dan Said Parintah. Anak Residen Van den Berg yang telah dikembalikan kepada Belanda diharuskan menyaksikan hukuman ini. Upacara eksekusi ini cukup megah karena dimeriahkan dengan formasi kapal perang Belanda dan kora-kora Ternate dan Tidore, salvo meriam dan marching band. Kemudian paduan suara gereja menyanyikan lagu-lagu rohani. Kemudian seorang tentara berpangkat kapten membacakan keslaahan-kesalahan Pattimura dan kawan-kawan untuk kemudian membacakan keputusan vonis mati dengan digantung. Sebelum digantung Pattimura mengucapkan sebuah kata-kata yang terkenal. ”Pattimura-Pattimura tua boleh mati tetapi Pattimura-Pattimura muda akan bangkit kembali dan melawan.” Akhirnya matilah Pattimura dan kawan-kawan. Jenasah-jenasah para pemberontak ini dibiarkan bergantung di muka umum sampai membusuk.
            Jean Lubbert-anak Van den Berg-, memohon kepada Pemerintah Belanda agar ia diizinkan melengkapi namanya menjadi Van den Berg Van Saparua untuk mengenang Pattimura. Perlawanan rakyat Maluku berhenti setelah banyak pemimpin yang tertangkap atau terbunuh.

BAB III
PENUTUP

            3.1 Kesimpulan
            Akhirnya pada tahun 1821 perlawanan Maluku dapat dikatakan berakhir. Perlawanan Maluku terjadi lagi pada tahun 1858, 1860, 1864, dan 1866 walaupun tidak seheroik pertempuran 1817. Meskipun Pattimura telah gugur, namun semangat dalam memperjuangkan kemerdekaan yang beliau miliki masih melekat pada Rakyat Maluku. Semangat tersebut terus mereka bawa dan tidak akan pernah padam untuk menembus segala rintangan demi satu tujuan yang mulia yaitu merdeka. Tepat seperti kata – kata terakhir beliau yang mengatakan ”Pattimura-Pattimura tua boleh mati tetapi Pattimura-Pattimura muda akan bangkit kembali dan melawan.” Hingga akhirnya seluruh perjuangan mereka terbayarkan dengan terusirnya penjajah dari tanah Indonesia pada tahun 1945.
            Namanya kini diabadikan untuk Universitas Pattimura dan Bandar Udara Pattimura di Ambon.
            3.2 Saran
            Semoga dengan dibuatnya makalah ini, kita bisa mengetahui bagaimana susahnya pejuang Indonesia zaman dahulu merebut NKRI, dari bertaruh harta maupun nyawa. Janganlah melupakan jasa pahlawan yang telah gugur dalam membela Indonesia. Hargailah jasa – jasa mereka karena berkat mereka, kita bisa menikmati kebebasan yang telah direbut oleh penjajah. Setidaknya, apabila tidak bisa membuat negara Indonesia menjadi baik maka jangan merusaknya. Selain itu, semoga kita bisa mengambil nilai-nilai luhur dari mereka.




Versi dokumennya bisa didownload di sini :

monggo dicomot :3

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Biji Monokotil & Biji Dikotil

Tek Editorial